Selasa, 12 Januari 2010

Perbandingan pajak konvensional dan pajak syariah


A. PAJAK SYARI’AH

1. Pengertian Pajak Syari’ah

Pengertian pajak (dharibah) dalam Islam berbeda dengan pajak atau tax dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Pajak dibolehkan dalam Islam karena adanya kondisi tertentu dan juga syarat tertentu, seperti harus adil, merata dan tidak membebani rakyat. Jika melanggar ketiganya maka pajak seharusnya dihapus dan pemerintah mencukupkan diri dari sumber-sumber pendapatan yang jelas ada nashnya dan kembali kepada sistem anggaran berimbang (balance budget).

Selain itu, pajak dibolehkan setelah zakat ditunaikan. Atau dengan kata lain, bayar zakat dulu baru kemudian pajak dipungut. Kewajiban pajak bukan karena adanya harta melainkan karena adanya kebutuhan mendesak, sedangkan baitul mal kosong atau tidak mencukupi. Pemberlakuan pajak adalah situasional, tidak harus terus menerus. Ia bisa saja dihapuskan bila baitul maal sudah terisi kembali. Pajak diwajibkan hanya kepada kaum muslimin yang kaya.

memperbandingkan bagaimana sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi non Islam bekerja. Kedua sistem ini ternyata memiliki cara pandang berbeda dalam melihat ketersediaan sumberdaya (resources). Sistem ekonomi konvesional melihat persoalan pokok ekonomi adalah sumberdaya tidak cukup sehingga harus diatasi dengan cara memaksimalkan produksi. Sementara itu, menurut sistem ekonomi Islam persoalan pokok justru terletak pada distribusi, bagaimana menyalurkan dari yang berkelebihan ke yang berkekurangan, karena sumberdaya telah cukup disediakan oleh Allah swt. Dalam konteks inilah pajak dan zakat bisa menjadi solusi ampuh buat mengatasi kesenjangan dan menciptakan pemerataan.

2. PPN

Salah satu poin penting dalam Rancangan Undang Undang Perpajakan (RUU) adalah penghapusan PPN atas transaksi Murabahah pada Bank Syariah. Meskipun demikian, karena RUU tersebut belum resmi diundangkan, saat ini aturan yang masih berlaku atas transaksi tersebut adalah Surat Edaran (SE) dari Dirjen pajak yang menyatakan bahwa transaksi tersebut merupakan jual beli biasa yang dikenakan PPN. Meskipun berulang kali SE ini mendapat tantangan dari kalangan perbankan syariah, termasuk Bank Indonesia melalui Deputi Gubernur Siti Chalimah Fadjrijah yang menyatakan pengenaan PPN tersebut sebagai pajak berganda (double taxation), serta adanya pemboikotan, sampai saat ini Dirjen pajak belum mencabut SE tersebut. Tulisan ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai transaksi Murabahah, pajak berganda serta layak tidaknya transaksi tersebut dikenakan PPN.

PPN atas Transaksi Murabahah

Bila kedua transaksi penyerahan mobil di atas dikenakan PPN sesuai dengan aturan yang berlaku saat ini (diasumsikan harga tersebut belum termasuk PPN), akan terdapat perbedaan jumlah PPN yang harus dibayar oleh Nasabah (sebagai konsumen akhir) pada kedua skema pembiayaan di atas. Nasabah yang membeli dengan pembiayaan dari bank konvensional hanya membayar PPN sebesar 10% X Rp 100 juta = Rp 10 juta. Sebaliknya, Nasabah yang membeli dengan pembiayaan Murabahah harus membayar PPN sebesar 10% X Rp 120 juta = Rp 12 juta. Bila ditelusuri lebih lanjut, selisih ini merupakan 10% dari margin penjualan bank Syariah, yaitu 10% X Rp 20 juta = Rp 2 juta. Selisih ini terjadi karena pendapatan bunga pada bank konvensional bukan merupakan obyek pajak sedangkan margin pada bank syariah merupakan obyek pajak . Selisih inilah yang menyebabkan SE Dirjen pajak ditentang habis-habisan oleh kalangan perbankan Syariah dan disebut sebagai pajak berganda, selain tentu saja kerepotan yang harus ditimbulkan dengan menjadi Pengusaha Kena pajak. Namun demikian, tidak dapat langsung disimpulkan bahwa pengenaan PPN atas produk Murabahah tersebut merupakan pajak berganda.

Secara sederhana, pajak berganda dapat diartikan sebagai pengenaan pajak atas obyek yang sama lebih dari satu kali. Misalnya, pendapatan yang dikenakan PPh Final tetapi diperhitungkan lagi pada penghitungan Penghasilan Kena pajak (PKP). Lawan dari pajak berganda ini adalah obyek pajak yang tidak dikenakan pajak, misalnya penghasilan yang tidak dikenakan pajak bagi penerimanya tetapi dapat dibiayakan pada penghitungan PKP. Aturan perpajakan di Indonesia, dengan perbaikan yang telah dilakukan secara terus menerus, secara konsisten dilakukan dengan salah satu tujuan untuk menghindari kedua hal tersebut. Bila masih ada aturan tertentu yang tidak konsisten dengan tujuan tersebut, kemungkinan besar aturan tersebut dibuat dengan motif untuk menjalankan fungsi pengatur (regulent) untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke arah yang diinginkan. Oleh karena itu, akan sangat mengherankan bila PPN atas produk Murabahah tersebut merupakan pajak berganda tetapi tetap diberlakukan oleh Dirjen pajak.

Untuk meninjau apakah PPN atas produk Murabahah merupakan pajak berganda, berikut adalah tinjauan pengenaan PPN atas ilustrasi di atas.

Bank Syariah beli dari Dealer:

PPN = 10% X 100 juta = Rp 10 juta (PPN masukan bagi bank Syariah)

Bank Syariah jual ke Nasabah (konsumen akhir):

PPN = 10% X 120 juta = Rp 12 juta (PPN keluaran bagi bank Syariah)

PPN yang harus dibayar Bank Syariah = PPN Keluaran – PPN Masukan

= Rp 12 juta – Rp 10 juta

= Rp 2 juta

Jadi, PPN yang harus dibayar oleh bank Syariah ke kas negara adalah Rp 2 juta, yang sebenarnya dikenakan atas margin penjualan mobilnya. Margin ini belum pernah dikenakan PPN sebelumnya karena dealer hanya mengenakan PPN atas harga jualnya, yaitu Rp 100 juta. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa PPN tersebut bukan merupakan pajak berganda karena margin dari pembiayaan Murabahah hanya dikenakan PPN satu kali saja.

Meskipun bukan merupakan pajak berganda, pengenaan PPN atas produk Murabahah tetap merupakan inkonsistensi peraturan. Pendapatan bunga, yang merupakan pendapatan dari produk intermediasi perbankan konvensional, tidak dikenakan PPN sedangkan margin pembiayaan Murabahah, yang juga merupakan pendapatan dari produk intermediasi perbankan (syariah) dikenakan PPN. Inkonsistensi aturan ini menyebabkan bank Syariah harus menjual produk Murabahah lebih mahal untuk mendapat tingkat keuntungan yang sama dengan pembiayaan bank konvensional.

Konsekuensi dari adanya perbedaan di atas, konsumen harus membayar lebih mahal untuk memilih produk Murabahah dibanding produk bank konvensional. Dampaknya, bila masalah agama dikesampingkan, konsumen yang rasional akan memilih produk yang lebih murah untuk mendapat manfaat yang sama. Oleh karena itu, disengaja atau tidak, aturan ini akan menjalankan fungsi regulent-nya untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke arah yang mungkin kurang diinginkan yaitu: mengarahkan konsumen rasional untuk memilih produk perbankan konvensional.

3. PPh

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. NOMOR 25 TAHUN 2009 Tahun 2009 tentang pajak penghasilan kegiatan usaha berbasis syari’ah

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1.Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

2.Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis syariah lainnya.


Perlakuan Pajak Penghasilan dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah meliputi :

a. penghasilan;

b. biaya; dan

c. pemotongan pajak atau pemungutan pajak.


Biaya dari Kegiatan Usaha Berbasis Syariah yaitu:

a. hak pihak ketiga atas bagi hasil;

b. margin; dan

c. kerugian dari transaksi bagi hasil.


Pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah dilakukan terhadap :

a. hak pihak ketiga atas bagi hasil;

b. bonus;

c. margin; dan

d. hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis.

Ketentuan mengenai penghasilan, biaya,dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dalam Pasal 31D memerintahkan untuk membentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur perlakuan Pajak Penghasilan atas transaksi kegiatan Usaha Berbasis Syariah dipersamakan dengan atau sebagaimana yang berlaku atas transaksi sepadan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam industri yang sama yang berdasarkan sistem konvensional. Dengan demikian, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan memberikan perlakuan yang sama (level playing field) bagi Wajib Pajak dalam suatu industri yang sama.

Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Contoh, perlakuan perpajakan mengenai bunga berlaku pula untuk imbalan atas penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan. Imbalan tersebut dapat berupa hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus, sesuai dengan pendekatan transaksi syariah yang digunakan. Pada ketentuan perpajakan secara umum, bunga merupakan penghasilan bagi pihak penerima dan merupakan pengurang penghasilan bagi pihak pembayar. Berkenaan dengan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan, pihak pembayar wajib memotong Pajak Penghasilan atas bunga yang dibayarkan. Pemotongan tersebut dapat dilakukan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 23, dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi.
Perlakuan perpajakan tersebut juga berlaku terhadap hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus yang timbul dari penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan, sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi.

Untuk Pajak Penghasilan (PPh), pemerintah telah mengakomodasi aturan pajak syariah ini dalam UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yaitu pada Pasal 31D yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batu bara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah (PP). Pada 3 Maret 2009 lalu, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Isi dari PP ini telah membedakan jenis usaha syariah, perlakuan pajak penghasilan yang meliputi keuntungan (margin) serta biaya dan pemotongan dan pemungutan pajaknya. Tentunya, detailnya akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Per Dirjen Pajak), dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE Dirjen Pajak) yang diharapkan keluar secepatnya. Karena dasar syariah yang digunakan sebenarnya hanya istilah khusus saja, penerapan aturan perpajakan secara umum sebenarnya tidak akan mendapatkan masalah berarti. Walaupun harus diakui bahwa keluarnya PP tersebut akan menangkap sejumah objek pajak yang secara khusus tidak diatur dalam UU Pajak Penghasilan.

4. Ciri-Ciri Pajak Syari’ah

a. penerapan atau perlakuan pajak atas kegiatan ekonomi yang berdasarkan aturan Islam (dikenal dengan syariah)

b. dharibah bersifat tidak memaksa, berlaku hanya pada keadaan darurat (temporer), dan sesuai kebutuhan (tidak ada istilah lebih)

c. kegiatan usaha berbasis syariah dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kehalalan produk, kemashlahatan bersama, menghindari spekulasi dan riba.

d. Adanya prinsip mutatis mutandis

e. Adanya pajak kas, yaitu sebagai pengatur penawaran uang dalam ekonomi makro. dimana pajak kas dapat menambah dari penawaran uang.

5. Transaksi

Usaha Berbasis Syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya, yaitu : kehalalan produk, kemaslahatan bersama, menghindari spekulasi, dan riba. Terkait dengan prinsip menghindari riba, kegiatan pemberian pinjaman yang dilakukan oleh jasa keuangan dengan mengenakan tingkatbunga tertentu tidak dapat dilakukan oleh usaha berbasis syariah. Kegiatan tersebut, dalam Usaha Berbasis Syariah dilakukan melalui beberapa pendekatan antara lain:

a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah

b. transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna

c. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik dan

d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh

Berdasarkan kesepakatan antara pihak yang bertransaksi, dana akan dikembalikan setelah jangka waktu tertentu dengan memberikan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional tersebut akan mengakibatkan beberapa implikasi. Perbedaan tersebut menyebabkan perlakuan perpajakan yang berbeda dalam suatu industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional. Dengan perlakuan yang berbeda tersebut, maka perlakuan perpajakan menjadi tidak netral bagi para pihak yang terlibat untuk menentukan pilihan apakah menggunakan transaksi berdasarkan prinsip syariah atau berdasarkan sistem konvensional. Implikasi berikutnya terkait dengan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan bagi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tertentu, apabila ketentuan Pajak Penghasilan yang berlaku umum diterapkan atas transaksi syariah yang mendasari kegiatan usaha tersebut.

6. Fungsi Pajak

Beberapa fungsi pajak yaitu:

a. fungsi penerimaan (budgetair)

Fungsi penerimaan adalah fungsi utama pajak. Pajak ditarik terutama untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik. Dua pajak penyumbang penerimaan terbesar adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan demikian, dua jenis pajak ini lebih memiliki fungsi penerimaan (budgetair) ketimbang fungsi mengatur.

b. fungsi mengatur (regulair).

Selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara, pajak juga memiliki fungsi mengatur. Dalam fungsi ini, pajak mengarahkan perilaku sekelompok warga negara agar bertindak sesuai yang diinginkan. Contoh, agar masyarakat Indonesia mendapatkan minyak goreng yang murah, maka terhadap ekspor CPO akan dikenakan pajak ekspor yang tinggi. Contoh lain, agar masyarakat tidak mengkonsumsi minuman beralkohol, maka terhadap jenis barang seperti ini dikenakan PPnBM yang tinggi. Jenis pajak yang biasanya digunakan sebagai instrumen mengatur ini adalah Pajak Ekspor, Bea Masuk dan PPnBM.

c. fungsi distribusi

Fungsi distribusi kekayaan di mana kelompok yang lebih mampu akan membayar pajak lebih banyak sementara kelompok yang kurang mampu akan mendapatkan manfaat lebih banyak dibandingkan dengan pajak yang dia bayar.

d. berfungsi sebagai pendorong investasi dan konsumsi

e. berfungsi sebagai pengatur kebijakan moneter

7. Jenis pajak syari’ah yang dibangun dari zakat

a. pajak kas

b. pajak persediaan

c. pajak piutang

d. pajak pangan

e. pajak ineffisiensi

8. Aturan pajak syari’ah

a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. nomor 25 Tahun 2009 tentang pajak penghasilan kegiatan usaha berbasis syari’ah

b. Rancangan Undang Undang Perpajakan (RUU) tentang penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi Murabahah pada Bank Syariah. Meskipun demikian, karena RUU tersebut belum resmi diundangkan, saat ini aturan yang masih berlaku atas transaksi tersebut adalah Surat Edaran (SE) dari Dirjen Pajak yang menyatakan bahwa transaksi tersebut merupakan jual beli biasa yang dikenakan PPN.

9. SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK

Pajak yang diakui dalam sejarah fiqh Islam dan sistem yang dibenarkan harus memenuhi beberapa syarat yaitu :

a. Benar – benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain.

Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar – benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Sebagian ulama mensyaratkan bolehnya memungut pajak apabila Baitul Mal benar – benar kosong. Para ulama benar – benar sangat hati – hati dalam mewajibkan pajak kepada rakyat, karena khawatir akan membebani rakyat dengan beban yang di luar kemampuannya dan keserakahan pengelola pajak dan penguasa dalam mencari kekayaan dengan cara melakukan korupsi hasil pajak.

b. Pemungutan Pajak yang Adil.

Apabila pajak itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai, maka pengutipan pajak, bukan saja boleh, tapi wajib dengan syara. Tetapi harus dicatat, pembebanan itu harus adil dan tidak memberatkan. Jangan sampai menimbulkan keluhan dari masyrakat. Keadilan dalam pemungutan pajak didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan pembangunan. (Qardhawi h. 1081-1082). Distribusi hasil pajak juga harus adil, jangan tercemar unsur KKN. Jangan prioritaskan pembangunan kampung halaman pejabat itu saja, tetapi sesuaikan dengan kebutuhan, kenyataan menunjukkan, seorang pejabat hanya terpokus membangun kampung kelahirannya (nenek moyangnya), kurang peduli pada daerah yang lain. Sehingga terjadi kesenjangan pembangunan. Ini merupakan sebuah kezaliman.

c. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.

Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan kelompok (partai), bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi, kemewahan keluarga pejabat dan orang-orang dekatnya. Karena itu, Al-Qur’an memperhatikan sasaran zakat secara rinci, jangan sampai menjadi permainan hawa nafsu, keserakahan atau untuk kepentingan money politic.

d. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak.

Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak,menentukan besarnya,kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat.Karena pada dasarnya, harta seseorang itu haram diganggu dan harta itu bebas dari berbagai beban dan tanggungan, namun bila ada kebutuhan demi untuk kemaslahatan umum, maka harus dibicarakan dengan para ahli termasuk ulama. Musyawarah adalah unsur pokok dalam masyarakat yang beriman, sebagai perintah langsung dari Allah SWT. Para pejabat pemerintah yang menangani pajak harus mempertimbangkan secara adil, obyektif dan seksama dan matang dalam menetapkan tarif pajak. DPR harus menyampaikan dan membawa aspirasi rakyat banyak, bukan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau golongan..

A. PAJAK KONVENSIONAL

1. Pengertian Pajak

Pajak adalah iuran wajib yang dibayarkan oleh wajib pajak berdasarkan norma- norma hukum tanpa mendapat balas jasa secara langsung.

Kelancaran dan keberhasilan pembangunan suatu negara merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Salah satu bentuk tanggung jawab masyarakat kepada negara adalah dengan membayar pajak. Pajak merupakan suatu kewajiban sekaligus bentuk pengabdian dan peran aktif warga negara dalam rangka ikut melaksanakan pembangunan nasional.

2. Dasar Pemungutan Pajak

a. UUD 1945

b. UU No.16/Th.2000-Ketentuan umum dan tata cara perpajakan

c. UU No.17/Th.2000-Pajak Penghasilan(PPh)

d. UU No.18/Th.2000-Pajak Pertambahan Nilai Barang/ Jasa dan Pajak Penjualan Barang atas Barang Mewah

e. UU No.12/Th.1994-Pajak Bumi dan Bangunan

f. UU No.19/Th.1997-Pajak Daerah dan Retribusi

g. PP No.24/Th.2000-Bea Materai

3. Jenis Pajak

· Jenis pajak berdasarkan pihak yang menanggung:

a. Pajak Langsung, adalah pajak yang pembayarannya harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Contoh : PPh, PBB.

b. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Penjualan, PPN, PPn-BM, Bea Materai dan Cukai.

· Jenis pajak berdasarkan pihak yang memungut:

a. Pajak Negara atau Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Pajak pusat merupakan salah satu sumber penerimaan negara. Contoh : PPh, PPN, PPn dan Bea Materai.

b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Pajak daerah merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintahan daerah. Contoh : Pajak tontonan, pajak reklame, PKB (Pajak Kendaraan Bermotor), PBB, Iuran kebersihan, Retribusi terminal, Retribusi parkir, Retribusi galian pasir.

· Jenis pajak berdasarkan sifatnya:

a. Pajak Subjektif, adalah pajak yang memperhatikan kondisi keadaan wajib pajak. Dalam hal ini penentuan besarnya pajak harus ada alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan kemampuan membayar wajib pajak. Contoh : PPh.

b. Pajak Objektif, adalah pajak yang berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : PPN, PBB, PPn-BM.

4. Unsur-Unsur Pajak

a. Subjek Pajak / Wajib Pajak adalah : Orang atau badan usaha yang menurut undang-undang wajib membayar pajak kepada negara, Setiap wajib pajak harus memiliki NPWP

b. Objek Pajak, adalah segala sesuatu yang menurut Undang-Undang dijadikan dasar atau sasaran pemungutan pajak

5. Fungsi Pajak

a. Fungsi Budgeter adalah fungsi pajak sebagai sumber pemasukan keuangan negara untuk pembiayaan pembangunan.

b. Fungsi Alokasi adalah fungsi pajak sebagai sumber pemasukan keuangan negara untuk kemudian dialokasikan untuk pengeluaran rutin negara.

c. Fungsi regulasi adalah pajak yang digunakan sebagai alat untuk mengatur atau mencapai tujuan-tujuan tertentu, pada umumnya sektor swasta atau sering disebut kebijakan fiskal.

d. Fungsi Sosial adalah pemungutan pajak disesuaikan dengan kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya.

6. Ciri-Ciri Pajak

a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."

b. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.

c. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.

d. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundag-undangan.

7. Syarat Pemungutan Pajak

Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai maswalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:

· Pemungutan pajak harus adil

Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya:

a. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak

b. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak

c. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran

· Pengaturan pajak harus berdasarkan UU

Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:

a. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya

b. Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum

c. Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak

· Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian

Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.

· Pemungutan pajak harus efesien

Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.

· Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.

8. Asas Pengenaan Pajak

Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.

Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:

1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).

2. Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.

3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara mengga¬bungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.

Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.

9. Contoh Pajak

1. Pajak Penghasilan ( PPh)

Pajak Penghasilan ( PPh) adalah pajak yang dikenakan kepada subjek pajak untuk setiap objek pajak yang diterimanya.

Unsur-unsur Pajak Penghasilan (PPh) :

a. Subjek Pajak Penghasilan, adalah :

1. Orang pribadi.

2. Badan Usaha (PT, CV, FIRMA, BUMN, BUMD, KOPERASI dan YAYASAN)

b. Objek Pajak Penghasilan, adalah : setiap penghasilan yang diterima oleh subjek pajak. Contoh : Gaji, Upah, Honorarium, Komisi, Bonus, Hadiah dari undian dan Laba usaha.

2. Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB )

Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ) adalah pajak yang dikenakan kepada subjek pajak atas kepemilikan tanah beserta bangunan yang berdiri diatasnya.

Unsur-unsur yang ada di pajak bumi dan bangunan :

a. Subjek PBB adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai hak kepemilikan atas tanah dan bangunan.

b. Objek PBB adalah tanah dan bangunan.

c. NJOP-KP : nilai jual objek pajak kena pajak.

d. NJOP-TKP : nilai jual objek pajak tidak kena pajak.

e. NJKP (nilai jual kena pajak) = 20 % x NJOP-KP

3. Bea Cukai

Bea Cukai adalah pungutan pajak terhadap penggunaan barang tertentu. Contoh : rokok dan minuman keras.

4. Bea Materai

Bea Materai adalah pungutan yang dikenakan pada dokumen resmi tertentu dengan tujuan untuk memberikan nilai hukum, sehingga menjadi surat berharga.

Menurut PP No.24 tahun 2000, tarif bea materai ada dua, yaitu : Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00

BAB III

KESIMPULAN

PERBEDAAN PAJAK KONVENSIONAL DAN PAJAK SYARI’AH

Dilihat dari segi

Pajak Konvensional

Pajak Syari’ah

Aturan perundang-undangan tentang pajak penghasilan

UU No.17/Th.2000

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. nomor 25 Tahun 2009

Sumber Hukum

Undang-undang

Undang-undang, Al-qur’an, Al-hadist

Fungsi Pajak

Fungsi Budgeter, Fungsi Alokasi, Fungsi regulasi dan Fungsi Sosial

fungsi penerimaan (budgetair), fungsi mengatur (regulair), fungsi distribusi, berfungsi sebagai pengatur kebijakan moneter, berfungsi sebagai pendorong investasi dan konsumsi

Ada tidaknya prinsip mutatis mutandis

Tidak ada

ada

Jenis pajak

Pajak Langsung, Pajak Tidak Langsung, Pajak Negara atau Pajak, Pusat, Pajak Daerah, Pajak Subjektif, Pajak Objektif

Pajak kas, pajak persediaan, pajak piutang, pajak pangan, pajak ineffisiensi

Transaksi

Transaksi umum

· transaksi bagi hasil . dalam bentuk mudharabah dan musyarakah

· transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh

· transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik

· transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna

Syarat pemungutan

· Pemungutan pajak harus adil

· Pengaturan pajak harus berdasarkan UU

· Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian

· Pemungutan pajak harus efesien

· Sistem pemungutan pajak harus sederhana

· Benar – benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain.

· Pemungutan Pajak yang Adil.

· Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.

· Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak

2 komentar:

  1. persamaan pajakan konvensional dan islam ..ada tak?

    BalasHapus
  2. persamaan pajakan konvensional dan islam ..ada tak?

    BalasHapus