
2.1 Macam-Macam Jual Beli Dari Segi Sifat Dan Bentuknya
2. 1.1 Jual beli Murabahah
Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syari’ah berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syari’at ataukah hanya rekayasa semata.Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam rubrik fikih kali ini kami angkat salah satu produk tersebut untuk melihat kehalalannya dalam tinjauan fikih islami.
Jual beli Murabahah (Bai’ al-Murabahah) demikianlah istilah yang banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari Financing (pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syari’at menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka [1]
2.1.2 Nama lain Jual Beli Murabahah :
Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syari’at ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:
- al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’
- al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’
- Bai’ al-Muwa’adah
- al-Murabahah al-Mashrafiyah
- al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah. [2]
Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP) [3]
2.1.3 Definisi Jual-Beli Murabahah (Deferred Payment Sale)
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan) [4].Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. [5]Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu Qudaamah ,[6]bahkan Ibnu Hubairoh [7]menyampaikan ijma’ dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani
Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada yang berlaku dimasa lalu.Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi islam memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda?
Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:
- Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).
- Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
- Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.
- Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.
Definis-definisi diatas cukup jelas memberikan gambaran jual beli murabahah KPP ini.
2.1.4 Ilustrasi Gambarannya
Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1. Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya dimuka .Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya.
2. Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
a. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
3. Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya.
2.1.5 Pernyataan para Ulama terdahulu tentang Jenis jual beli murabahah
Permasalahan jual belia murabahah KPP ini sebenarnya bukanlah perkara kontemporer dan baru (Nawaazil) namun telah dijelaskan para ulama terdahulu. Berikut ini sebagian pernyataan mereka:
Imam As-Syafi’i menyatakan: Apabila seorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata: Belilah itu dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian. Lalu ia membelinya maka jual belinya boleh dan yang menyatakan: Saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyaar), apabila ia ingin maka ia akan melakukan jual-beli dan bila tidak maka ia akan tinggalkan. Demikian juga jika ia berkata: ‘Belilah untukku barang tersebut’. Lalu ia mensifatkan jenis barangnya atau ‘barang’ jenis apa saja yang kamu sukai dan saya akan memberika keuntungan kepadamu’, semua ini sama.
Diperbolehkan pada yang pertama dan dalam semua yang diberikan ada hak pilih (khiyaar). Sama juga dalam hal ini yang disifatkan apabila menyatakan: Belilah dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo. Jual beli pertamam diperbolehkan dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua. Apabila keduanya memperbaharui (akadnya) maka boleh dan bila berjual beli dengan itu dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut) maka ia termasuk dalam dua hal:
1. Berjual beli sebelum penjual memilikinya.
2. Berada dalam spekulasi (Mukhathorah).
Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir 3/129 menyatakan: al-’Inah adalah jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya setelah ia membelinya adalah boleh kecuali yang minta menyatakan: Belilah dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas secara tempo. Maka ia dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat), karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah jatuh tempo dua belas.
Jelaslah dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini bahwa mereka menyatakan pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma’ al-Fiqih al-Islami) menegaskan bahwa jual beli muwaada’ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli murabahah dengan syarat al-Khiyaar untuk kedua transaktor seluruhnya atau salah satunya. Apa bila tidak ada hak al-Khiyaar di sana maka tidak boleh, karena al-Muwaa’adah yang mengikat (al-Mulzamah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri, dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang menjual yang tidak dimilikinya.
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang jual beli ini menjawab: Apabila barang tidak ada di pemilikan orang yang menghutangkannya atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga dan tidak sempurna jual beli diantara keduanya hingga barang tersebut dikepemilikan penjual.
2.1.6 Hukum Bai’ Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat (Ghairu al-Mulzaam)
Telah lalu bentuk kedua dari murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:
- Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. Hal ini yang rojih adalah boleh dalam pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Hal itu karena tidak ada dalam bentuk ini ikatan kewajiban menyempurnakan janji untuk bertransaksi atau penggantian ganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut bersepekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu dari keduanya berpaling dari keinginannya maka tidak ada ikatan kewajiban dan tidak ada satupun akibat yang ditanggungnya.
- Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang karena masuk dalam kategori al-’Inah sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah dan inilah yang dirojihkan Syeikh Bakr Abu Zaid.
2.1.7 Hukum Ba’i Murabahah dengan pelaksanaan janji yang mengikat
Untuk mengetahui hukum ini maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan langsung dengannya.Langkah proses Murabahah KPP bentuk ini Mu’amalah jual beli murabahah KPP melalui beberapa langkah tahapan, diantara yang terpenting adalah:
1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
a. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.
b. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.
2. Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.
3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.
a. Mengadakan perjanjian yang mengikat.
b. Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.
c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
d. Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).
6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
a. Penentuan harga barang.
b. Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.
c. Penentuan nisbat keuntungan (profit).
d. Penentuan syarat-syarat pembayaran.
e. Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.
Demikianlah secara umum langkah proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil secara bebas dari kitab al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 261-162. sedangkan dalam buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek hal. 107 memberikan skema bai’ Murabahah sebagai berikut:
2.1.8 Aqad ganda (Murakkab) dalam Murabahah KPP bentuk ini. [8]
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini terdiri dari:
1. Ada tiga pihak yang terkait yaitu:
a. Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
b. Penjual barang kepada lembaga keuangan.
c. Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.
2. Ada dua akad transaksi yaitu:
a. Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.
b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).
3. Ada tiga janji yaitu:
a. Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.
b. Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.
c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.
Dari sini jelaslah bahwa jual beli murabahah KPP ini adalah jenis akad berganda (al-’Uquud al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji dan ada tiga pihak. Setelah meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak jelas ada padanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya.
Berdasarkan hal ini maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat sehingga dapat dinyatakan dengan uangkapan: Belkan untuk saya barang dan saya akan berikan untung kamu dengan sekian.
Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk membelinya.
Dengan melihat kepada muamalah ini dari seluruh tahapannya dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini adalah Mu’amalah Murakkabah secara umum dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling terikat, sehingga jelas hukumnya berbeda.
2.1.9 Hukumnya
Yang rojih dalam masalah ini adalah tidak boleh dengan beberapa argumen di antaranya:
a. Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual barang tersebut masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada hakekatnya adalah akad dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini adalah akad batil yang dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.
b. Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang dengan bunga, karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar darinya secara tempu dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.
c. Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli” (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 5/149)
Al-Muwaa’adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam satu jual beli.
2.1.10 Ketentuan diperbolehkannya
Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli murabahah KPP ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah diperbolehkan dengan tiga hal:
- Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.
- Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.
- Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya.
2.2 Musawamah
Musawamah berasal dari lafadz saawama, yusawimu, musawamatan yang secara terminologi berarti akad jual beli dimana penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatkannya. Ulama fiqh mengidentifikasi musawamah bagian dari transaksi jual-beli yang dalam prakteknya berbeda dengan model jual-beli murabahah.
Musawamah merupakan bagian dari transaksi jual-beli yang tidak harus mensyaratkan penyebutan harga pokok beserta keuntungannya. Dalam hal ini, penjual dapat menetapkan harga penjualan ke pembeli. Sebaliknya, sang pembeli dapat menawar harga yang telah ditetapkan oleh penjual. Di sini berlaku prinsip negoisasi harga, tawar menawar, antara penjual dan pembeli.
Karena musawamah termasuk bagian dari transaksi jual-beli, maka syarat dan rukun jual-beli juga harus terpenuhi dalam praktek musawamah. Dalam hal ini, kalangan ulama fiqh telah menetapkan paling tidak ada empat unsur yang harus terpenuhi dalam setiap transaksi yang mengacu pada prinsip jual-beli, yaitu :
1. Penjual, orang yang menjual barang.
2. Pembeli, pihak yang melakukan pembelian barang
3. Barang, seuatu yang diperjualbelikan
4. Harga barang.
Jika ditanyakan, apakah musawamah termasuk ke dalam salah satu mekanisme dalam penguasaan tanah dalam Islam, maka jawabannya bukan. Karena penjelasan mengenai musawamah menekankan pada proses jual-beli yang implikasinya berupa pemindahan hak milik. Ilustrasinya, sebelum terjadi transaksi jual-beli antara penjual dan pembeli, status kepemilikan barang yang diperjualbelikan milik penjual. Setelah terjadi transaksi, terjadilah pemindahan hak milik, dari penjual ke pembeli.
Jadi, dalam hal ini, tidak ada kaitannya sama sekali dengan mekanisme penguasaan tanah. Biasanya, perkara yang berkaitan dengan penguasaan kepemilikan tanah, dalam hukum Islam, dikenal dua istilah, yaitu : ihyaul mawat dan syuf’ah.
Ihyaul mawat biasa dikenal dengan proses menghidupkan kembali tanah-tanah yang mati. Maksudnya, tanah-tanah yang tidak produktif dan masih belum ada pemilik-nya, bagi orang yang kali pertama mengelola tanaman tersebut mempunyai otoritas atas hak kepemilikan tanah tersebut. Dahulu kala, model ihyaul mawat diakui dalam literatur ilmu fiqh (hukum Islam). Tetapi, saat ini, ketentuan kepemilikan tanah, khususnya yang masuk wilayah Indonesia, diatur oleh pemerintah melalui undang-undang agraria.
Sedangkan syuf’ah merupakan hak pertama yang diberikan kepada tetangga terdekat dalam pemindahan kepemilikan tanah. Contohnya Bapak Ahmad mempunyai sebidang tanah yang akan dijual. Maka Bapak Ahmad berkewajiban untuk menawarkan terlebih dahulu kepada tetangganya yang terdekat. Tetangga Bapak Ahmad lebih berhak memiliki tanah tersebut daripada orang lain. Inilah yang dimaksud dengan hak syuf’ah.
2.3 Jual beli Muwadha’ah
Jual beli muwadha’ah adalah jual beli dimana sang penjual menjual barang nya tidak sesuai dengan harga pasar dikarenakan dagangan nya tidak laku sehingga menjual dengan harga sesuai dengan modal yang di keluarkan.Contoh nya menjual makanan yang gampang busuk
2.3.1 Berbagai Bentuk Jual Beli Muwa’adah
Berdasarkan penelitian, model murabahah lil amir bisy syira’ yang dipraktekkan berbagai lembaga keuangan islam dapat dikategorikan sebagai bai’ al muwa’adah yang terdiri dari 3 jenis, yaitu:
• Bentuk pertama Akad yang dilakukan bukanlah akad yang lazim (harus dipenuhi) diantara kedua belah pihak tanpa menyebutkan kadar keuntungan.Seperti seorang nasabah ingin membeli suatu barang kemudian dia mendatangi suatu lembaga keuangan dan berkata, “Belilah barang ini untukmu dan aku akan membelinya darimu dengan disertai tambahan harga, baik secara kontan maupun bertempo”.
• Bentuk kedua Akad yang dilakukan adalah bukan akad yang lazim (harus dipenuhi) diantara kedua belah pihak, namun kadar keuntungan disebutkan. Semisal seseorang yang menginginkan suatu barang tertentu kemudian mendatangi suatu lembaga keuangan dan berkata, “Belilah barang ini untukmu! Aku akan membelinya darimu baik secara kontan atau bertempo dan aku akan memberi laba 1000 riyal”
• Bentuk ketiga Akad yang dilakukan kedua belah pihak adalah akad lazim (harus dipenuhi) sesuai kesepakatan mereka dengan menyebutkan kadar keuntungan. Seperti seseorang yang menginginkan barang dengan karakteristik tertentu kemudian mendatangi suatu lembaga keuangan dan keduanya bersepakat bahwa lembaga keuangan tersebut berkomitmen membeli barang yang dimaksudkan dapat berupa aktiva tetap, perkakas atau semisalnya, setelah barang dibeli oleh lembaga keuangan, nasabah berkomitmen untuk membeli barang itu dari lembaga keuangan, dengan harga yang telah disepakati bersama baik secara kontan maupun bertempo.
2.3.2 Sebab Terjadi Jual Beli Muwa’adah
Negeri-negeri Islam mengerang disebabkan terjadinya berbagai bentuk mu’amalah ribawi yang menekan berbagai bank dan lembaga keuangan. Seluruh tempat tersebut merupakan tempat yang mengumandangkan perang terhadap Allah dan rasul-Nya, pusat terbesar yang mengguncangkan ekonomi, menghancurkan negeri, memisahkan rasa malu dari kehidupan serta menambah jumlah orang yang fakir dan yang berhutang. Di masa permulaan, berbagai bentuk mu’amalah yang banyak dilakukan orang adalah mu’amalah ribawi yang dibesar besarkan dengan nama dusta, yaitu ‘pinjaman berbunga’. Dan sesungguhnya di antara dampak gelombang semangat keislaman kontemporer adalah adanya gerakan dari bank bank Islam. Telah menjadi kewajiban mereka, mewujudkan mu’amalah yang islami sehingga mengembalikan umat agar dapat menunaikan bentuk mu’amalat yang sesuai dengan agama dan syari’at Allah serta menepis segala bentuk infiltrasi yang ingin menyusup ke dalamnya. Layaknya seorang muslim yang terlahir dari pernikahan yang islami maka dirinya wajib meniti hidup serta mempraktekkan segala usaha dan bentuk mu’amalah berdasarkan akad�akad syar’i yang terbebas dari bentuk riba. Didorong keinginan untuk menolak mu’amalah ribawi yang disebut dengan ‘pinjaman berbunga’ tadi, maka berbagai lembaga keuangan islam mengadakan bentuk mu’amalah yang dinamakan ‘Bai’ul Murabahah’ atau ‘Bai’ul Murabahah lil Amir wasy Syira’, akan tetapi nama yang lebih tepat untuk bentuk mu’amalah ini adalah ‘Bai’ul Muwa’adah’, karena di dalam transaksi mu’amalah tersebut terdapat janji yang diadakan kedua belah pihak, yaitu janji yang berasal dari nasabah untuk membeli barang dari bank, dan janji dari bank untuk membeli barang yang dipesan nasabah kemudian menjual barang itu kepadanya. Selain itu, perjanjian antara kedua belah pihak dalam bentuk jual beli ini,apakah ditunaikan atau tidak merupakan pokok perselisihan di antara ulama dalam menentukan hukumnya,apakah haram atau tidak. Sehingga penamaan transaksi ini dengan ‘Bai’ul Muwa’dah’ lebih tepat untuk digunakan karena nama merupakan wadah bagi makna yang terkandung di dalamnya.
Maka apakah bentuk mu’amalah ini hukumnya haram seperti pinjaman berbunga? Atau boleh secara mutlak atau perlu perincian? Silahkan menyimak pembahasan berikut? Wallahu a’lam.
2.3.3 Hukum Jual Beli Muwa’adah
Beberapa peneliti telah keliru karena menganggap permasalahan ini adalah permasalahan kontemporer sehingga terjerumus ke dalam berbagai kekeliruan. Insya Allah terdapat pembahasan khusus mengenai hal tersebut dalam sub bab ini. Sesungguhnya permasalahan ini telah dibahas dan dikodifikasikan oleh para ahli fiqih terdahulu dalam pembahasan ‘al hiyal’ dan ‘al buyu’, sebagaimana yang diterangkan oleh Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani dalam kitab Al Hiyal hal. 79 dan 127, Malik dalam Al Muwaththa’ beserta Al Muntaqa karya Al Baji hal. 38�39, Asy Syafi’i dalam Al Umm 3/39, Ibnul Qayyim dalam A’lamul Muwaqi’in 4/39 dan para ulama selain mereka Berikut beberapa perkataan mereka dalam permasalahan ini.
• Ulama Hanafiyah
Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani dalam Al Hiyal berkata, “Aku berkata (kepada Abu Hanifah), “Bagaimana pendapat anda mengenai seseorang yang memerintahkan orang lain untuk membeli sebuah rumah berharga 1000 dirham, dan dia mengatakan jika orang tersebut telah melakukannya maka orang yang memerintahkan tadi akan membelinya dengan harga 1100 dirham. Maka orang yang diperintahkan tadi hendak melakukannya namun dia khawatir apabila dia telah membelinya, orang yang memerintahkan tersebut membatalkan dan tidak jadi membeli rumah tersebut darinya, bagaimana solusi terhadap permasalahan tersebut? Beliau (Abu Hanifah) berkata, “Hendaknya orang yang diperintah tadi membeli rumah tersebut dan meminta hak khiyar selama 3 hari kemudian rumah tersebut diserahterimakan. Setelah itu, apabila orang yang memerintahkan datang kepadanya, hendaknya orang tersebut (yang memerintahkan untuk membeli rumah pent) yang memulai pembicaraan, semisal, “Aku beli rumah ini darimu dengan harga 1100 dirham” dan hendaknya dia (pihak yang diperintah pent) menjawab dengan perkataan semisal, “Rumah itu untukmu dengan harga tersebut”. Sehingga akad tersebut menjadi akad yang lazim (harus dipenuhi) bagi orang yang memerintahkan tadi dan perkataannya (perkataan orang yang diperintah untuk membeli rumah, pent) hanya sebagai jawaban terhadap orang tadi. Maksudnya adalah hendaknya orang yang diperintahkan untuk membeli rumah tadi jangan memulai pembicaraan terlebih dahulu dengan mengatakan, “Aku jual rumah tersebut kepadamu dengan harga 1100 dirham”. Karena hal tersebut dapat membatalkan hak khiyarnya dan gugurlah haknya untuk mengembalikan rumah tersebut kepada penjualnya. Dengan demikian, apabila orang yang memerintahkan tadi membatalkan keinginannya, maka masih memungkinkan rumah tersebut dikembalikan pada masa khiyar sehingga kerugian dapat dihindari”.
• Ulama Malikiyah
Dalam Al Muwaththa’, bab “Bai’ataini fii Bai’atin”. Beliau (Imam Malik, pent�]) mendengar berita bahwa seseorang berkata kepada orang lain, “Belilah unta tersebut bagiku secara kontan dan aku akan membelinya darimu dengan hutang. Imam Malik bertanya pada Abdullah Ibnu ‘Umar mengenai permasalahan ini dan beliau radliallahu 'anhu membenci dan melarang hal tersebut”. Masalah ini dijelaskan oleh ulama Malikiyah (lihat: Bai’ Al Murabahah karya Al Asyqar hal. 34) dalam Al Muntaqa karya Al Baji 5/38 39, Al Kafi karya Ibnu Abdil Barr, Al Muqaddimat karya Ibnu Rusyd 2/537 dan Khalil dalam Al Mukhtashar dan seluruh Syarh Mukhtashar Khalil.
2.4 Jual beli tauliyah
Jual beli tauliyah. Yakni jual beli dengan menjual barang dalam harga modal, tanpa keuntungan dan kerugian.Contoh nya dagang buah-buahan dan tumbuhan. Apabila belum terdapat buah, dsepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasd menurut ulama hanafiyah dan batal menurut jumhur ulama. Adapun jika buah-buahan atau tumbuhan itu matang, akadnya di bolehkan.
[1] Lihat al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at-Tathbiiq, Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar hal. 307.
[2] Kelima nama ini disebutkan dalam al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 260-261
[3] Lihat Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’I Antonio, hal 103.
[4] Lihat al-Qaamus al-Muhith hal. 279.
[5] Al-’Uquud al-Murakkabah hal 257.
[6] Al-Mughni 4/259
[7] Al-Ifashoh 2/350 dinukil dari Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin Abdillah Abu Zaid 2/64.
[8] Lihat al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 265-266
Tidak ada komentar:
Posting Komentar